Konon menu makanan di klub-klub Inggris itu paling buruk dibanding para rivalnya di kompetisi utama benua Eropa.
Penyerang Rusia, Roman Pavlyuchenko, menyebut menu ransum yang disediakan Tottenham Hotspur mirip dengan dagangan di kantin sekolah.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Bahkan pelatih terdahulu Tottenham, Juande Ramos, sempat melakukan editing pada menu para pemain. Menurutnya lebih banyak kandungan lemak, timbang protein.
Pelatih Inggris Fabio Capello juga memberi rekomendasi pada anak asuhnya agar makan salad dengan taburan minyak zaitun ketimbang cuma makan kentang dengan selimut saus tomat.
Dulu di Chelsea, Gianluca Vialli pernah memberlakukan pesta sampanye sebelum pertandingan. Sebab kandungan kalori dan energi para pemainnya tak cukup buat bertanding dalam tempo tinggi. Tapi “pesta” cuma sesaat karena dituding mengenalkan budaya mabuk pada pemain.
Yang terbaru, pelatih Roberto Mancini akan menyiapkan pizza dan segelas anggur merah kepada setiap pemain Manchester City sesaat sebelum bertanding. Budaya khas Italia itu diklaim bisa merangsang adrenalin pemain dalam pertandingan.
Entahlah apakah karena pizza dan anggur itu pula City justru menyerah 0-2 dari Everton kemarin (Sabtu, 16/1) — sekaligus kekalahan pertama di era Mancini.
Makanan atlet selalu berbeda dengan non atlet. Porsinya pun lain. Tapi saya yakin makanan di Inggris sudah tentu jauh lebih baik dari makanan atlet Indonesia.
Bahkan saya pernah menemui trio asing sebuah tim liga lokal sarapan dengan soto ayam!
Saya tak tahu seberapa perhatian para pelatih lokal terhadap pola dan menu makan pemainnya. Yang sering terjadi adalah kontrol berat badan.
Pelatih Benny Dollo pernah menerapkan itu saat menangani Arema silam. Berat pemain ditimbang dan dicatat saat akan liburan. Rekor itu akan dicocokkan saat si pemain kembali dari liburan. Jika naik 1 Kg, si pemain akan didenda Rp 100 ribu.
Saya tak tahu apakah Bendol juga menerapkan hal itu pada dirinya sendiri. Image may be NSFW.
Clik here to view.
Di Indonesia, memang belum lazim klub/pelatih mengurusi menu makan pemainnya. Yang dilakukan setidaknya hanya kebijakan ala Bendol itu.
Bila di hotel, misalnya seperti tempat timnas menginap, menu makanan yang ada cukup “wah”. Sumber protein dan kalori melimpah. Tapi makanan bersantan pun ada. Katakanlah, rendang daging itu. Buat wartawan yang datang untuk liputan jumpa pers, jelas ini sebuah program perbaikan gizi sesaat. Tapi jelas berbahaya untuk pemain walau dokter tim kadang memberi taklimat.
Untuk kasus pemain Indonesia, masalahnya jelas lebih kompleks. Barangkali belum tentu makanan sehari-hari memenuhi 4 sehat 5 sempurna. Andai itu terjadi, budaya orang Indonesia untuk jajan — misalnya makan bakso, makan mie instan — tentu tak bisa dihindari. Padahal untuk kategori atlet, itu hal tabu.
Jadi, kalau ada umpatan bahwa pemain kita kebanyakan makan tempe itu salah besar. Atlet kita makan segalanya, bahkan tiap hari mereka makan daging. Jika mereka loyo dan tak kuat bertanding lebih dari 60-70 menit, penyebabnya kompleks.
Saya hanya berpikir, apabila metode Mancini tadi diterapkan kepada para pemain Indonesia, apa jadinya?