Sejak awal musim, Manchester City sudah memasang target masuk 4 besar Liga Premier Inggris. Kredonya pakai cara lama Chelsea yang menggunakan kekuatan uang.
Setelah Liverpool dan Everton sempat meredup, Aston Villa bersama Tottenham Hotspur dan City menjadi unggulan banyak orang.
Seperti halnya bola yang bergulir tanpa bisa ditebak, perkembangan yang terjadi juga demikian. City mulai kelihatan aslinya sebagai tim papan tengah sehingga hanya tinggal Tottenham dan Villa yang ternyata lebih berpeluang.
Di masa setengah musim, situasinya berubah lagi. Liverpool mulai bangkit, Tottenham masih menjaga irama dan Villa hampir pasti akan menemui nasib seperti musim lalu — gagal ke empat besar. Sedangkan City bisa melewati turbulensi di ruang ganti dengan hasil 2 kemenangan clean sheet.
Di awal musim pula, saya sudah menetapkan 4 besar Inggris akan berisi Manchester United, Chelsea, Arsenal (bukan berarti urutan di klasemen) — sebagai trio besar dan menyisakan City di posisi empat. Ini pula yang dikatakan Jamie Reeves, sang football pundit dari ESPN/Star.
Kini, jika pertanyaan siapa yang bakal menempati posisi empat akhir diajukan lagi maka saya harus menjawab antara City dan Liverpool. Kecenderungannya ada di City. Lho?
Di tangan Mark Hughes, City sudah sulit dikalahkan meski kemenangan juga sulit diraih. Dengan lebih dari 60 persen pemain baru di barisan starter, City baru dua kali kalah. Padahal meramu tim dengan lebih dari 5 pemain baru adalah anomali bagi para pelatih — terutama menurut tuturan Franz Beckenbauer.
Namun Hughes mampu melakukannya. Tapi sayang, mister Wales ini belum cukup berpengalaman sehingga timnya tak punya keseimbangan antara serangan dan pertahanan. Kemenangan 4-3 atas Sunderland sepekan lalu yang berarti tajam di depan tapi keropos di belakang menjadi partai terakhirnya. Sebagai pengganti masuklah Roberto Mancini, Italiano yang mampu memberi 3 gelar juara Serie A beruntun pada Inter Milan dan pernah menjuarai Piala Italia dengan tiga klub berbeda; Lazio, Fiorentina dan Inter.
Dari segi kemampuan melatih dan pengalaman, Mancini unggul sedikit dari Hughes. Baru 5 hari latihan, City sudah bisa memainkan alur bola gaya Italia — seperti yang kini bisa kita lihat di Chelsea dan tim nasional Inggris. Menurut gelandang Stephen Ireland, Mancini meminta skuad memainkan bola mendatar dan tidak lagi melulu bola panjang khas Inggris, kecuali dalam situasi darurat atau memang mengharuskan begitu.
Dua kemenangan atas Stoke City dan Wolverhampton Wanderers memang tak terlalu mengejutkan karena di atas kertas City lebih unggul. Tapi dua kemenangan itu diperoleh tanpa kemasukan satu gol pun. Ini jarang terjadi sewaktu Hughes masih di kursi pelatih. Stoke misalnya, mereka menyerang penuh di babak kedua. Andai masih Hughes yang melatih, pasti City kembali ditahan imbang — hasil spesialisnya di musim ini.
Kunci keberhasilan Mancini di dua laga itu adalah pertahanan. Dia tahu benar penyakit tim barunya. Itu sebabnya dia bicara dengan satu per satu pemain belakang di sesi latihan perdana. Hasilnya jelas; gawang Shay Given tak kebobolan dalam dua partai.
Untuk mencapai target empat besar, tentu tak mudah. Paruh kedua jelas lebih berat. Bulan Januari ini, City tak diperkuat kapten Kolo Toure yang pulang ke Pantai Gading untuk main di Piala Afrika. Sedangkan Joleon Lescot masih cedera. Praktis tinggal Vincent Kompany yang ada di sentral pertahanan.
Mancini kabarnya akan memasukkan pemain baru untuk posisi itu. Dia diperkirakan bakal mengontrak sedikitnya tiga pemain di Januari ini. Jika ini terjadi, City akan punya skuad yang besar.
Skuad besar dengan perbedaan mutu starter dan cadangan yg tak mencolok adalah syarat mutlak untuk mengarungi musim yang panjang, melelahkan dan berat. Tiga tim besar memenuhi syarat ini. Dan faktor ini tak dimiliki oleh Spurs dan Villa. Sementara Liverpool terlalu bergantung pada Steven Gerrard dan Fernando Torres. Jika dua pemain itu absen, akibat cedera misalnya, bisa runyam urusan.
© image: Press Associated