Saat pelatih Jose Mourinho menangani Inter Milan pada kurun 2008-2010, ia sempat bertemu Barcelona empat kali dalam semusim di Liga Champions 2009/10. Hasilnya; Inter dua kali kalah, sekali imbang, dan sekali menang dari sang juara bertahan. Tapi pada akhirnya, La Beneamatta justru menjuarai kompetisi antar klub paling elite di Eropa tersebut di akhir musim.
Dari empat pertemuan itu, yang jadi perbincangan di kalangan pundit dan jurnalis kala itu adalah pertemuan keduanya dalam semifinal leg 1 di Giuseppe Meazza, Milan, 20 April 2010. Inter menang 3-1. Tentu saja ini hasil mengejutkan karena dalam dua pertemuan di babak grup, Barca yang masih dilatih Pep Guardiola meraih imbang 0-0 dan menang 2-0.
Seperti biasa, pundit dan jurnalis lebih menilik apa rahasia Mourinho — ketimbang berbalik tanya apa yang salah dengan Barca. Salah satu rahasia terungkap dari mulut Mourinho langsung. Orang Portugal nan kontroversial ini bilang dia memilih strategi semi-defensif. Maksudnya, timnya tidak total bertahan seperti halnya Yunani di Euro 2004. Tapi para pemain diminta tidak terlalu aktif mengejar dan merebut bola.
“Sebab, bila Anda melakukan itu maka Anda akan mudah kehilangan posisi. Ketika itu terjadi maka lawan akan memanfaatkannya dan kami menghadapi Barcelona yang ahli melakukan itu,” kata Mourinho ketika itu.
Dan prinsip taktik yang hampir sama kembali terjadi Selasa dinihari WIB (4/2/2014) kala Mou membawa Chelsea mengakhiri rangkaian kemenangan Manchester City dalam 8 partai beruntun EPL dengan skor 1-0 di Stadion Etihad. Skor ini juga membuat City menuai kekalahan kedua dalam 22 partai kandangnya di EPL. Skuat Manuel Pellegrini juga untuk pertama kalinya gagal mencetak gol di laga kandang EPL sejak 13 November 2010.
City yang sebelumnya begitu superior seperti tak berdaya di tangan Chelsea. Tentu saja, faktor absennya penyerang Sergio “Kun” Aguero dan gelandang Fernandinho pasti mempengaruhi dapur pacu serangan tim. Tapi jangan salah, absennya dua figur itu tak terlalu kentara. Lagipula, dalam permainan sepakbola modern seperti sekarang, sebuah tim haram terpangaruh oleh absennya satu atau dua pemain. Meski dia bintang sekalipun. Itulah esensi dari kolektivitas tim.
Secara permainan, The Citizen tetap berkuasa. Selain faktor tuan rumah, filosofi Pellegrini yang menyerang, menyerang, dan menyerang menghasilkan 65,3% dominasi berbanding 34,7% (versi Stats Zone FFT) atau 58% versus 42% (versi Squawka).
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Mou pasti paham betapa mengerikan lawannya yang sudah mencetak 42 gol dan hanya kebobolan 8 gol dalam 11 partai kandangnya di EPL musim ini. Itu sebabnya eks arsitek Real Madrid dan FC Porto itu memilih timnya bermain “tidak aktif”. Tujuannya cuma satu; memaksa City mandul.
Strateginya terlihat jelas di babak pertama. Template pertama adalah mengepung pemain City yang aktif menguasai bola, terutama sebelum masuk ke daerah sendiri, dan secepatnya mengalirkan bola ke gelandang Eden Hazard. Pemain Belgia, yang di EPL musim lalu berada di urutan teratas statistik take-ons, ini jadi pivot serangan balik Chelsea meski posisi aslinya ada di sayap kiri. Dia satu-satunya pemain yang dibebaskan dari tugas pressing bila bukan dalam area pergerakannya. Beda dengan Samuel Eto’o, Ramires, atau Willian yang pergerakannya lebih cair.
Menurut Stats Zone, aliran umpan tertinggi ke Hazard datang dari bek kanan Branislav Ivanovic (9), bek kiri Cesar Azpilicueta (9), dan Willian (8). Adapun setelah mendapat bola, Hazard 11 kali melepasnya ke Willian — dynamic duo di lini tengah Chelsea. Karena perannya sebagai pivot, Hazard menjadi paling sering dilanggar tadi pagi (4 kali), sekaligus paling banyak melakukan take-ons (11/16 kali).
Peran sentral bintang berumur 23 tahun ini sekaligus menarik perhatian lawan. Bukan cuma 1, tetapi bisa 2-3 pemain. Ingat filosofi zona Pep Guardiola di Bayern Muenchen. Akibatnya, pertahanan City yang koordinasinya tidak sebaik lini depan mereka, menjadi mudah dieksploitasi Chelsea. Lihatlah sesaat sebelum Ivanovic mencetak gol pada menit 32. Setup serangan balik Chelsea yang sekitar 5-7 detik itu menghasilkan lima pemain sekaligus di sepertiga akhir lapangan City. Hazard, Willian, Eto’o, Ramires, dan Ivanovic. Sementara Nemanja Matic menjaga di area 32 meter ke bawah sebagai antisipasi bola muntah. Inilah template kedua.
Pellegrini maklum serangan timnya sering macet di babak pertama. Menit 56, pelatih dari Cile ini memasukkan pemain depan Stevan Jovetic dan menarik keluar penyerang Alvaro Negredo. Ini keputusan jitu. Tampilnya Jovetic membuat City tak lagi memainkan bola lebih direct ke depan. City juga tak lagi bernafsu melepas bola silang lambung meski Jesus Navas di kanan dan Aleksandar Kolarov di kiri lebih sering berhasil melakukannya. Pellegrini ingin para pemainnya, terutama Jovetic, lebih dulu berbagi umpan sesaat di depan final third Chelsea sebelum masuk ke sana (delay attack). Ini juga digunakan Pellegrini menghindari pressing Chelsea. Jovetic dan David Silva menjalani peran bersama sebagai pivot serangan.
Image may be NSFW.
Clik here to view.
Tapi Chelsea “beruntung” punya Matic dan David Luiz sebagai DM. Mereka berdua melakukan 4/8 dan 3/5 tekel (tertinggi di Chelsea), serta 7 dan 6 ball recoveries sepanjang pertandingan. Duo Serbia-Brazil ini hanya kalah dari gelandang City, Yaya Toure, dalam hal ball recoveries (10). Matic dan Luiz membuat City selalu kesulitan memasukan bola ke kotak penalti Chelsea. Prinsipnya mungkin orang boleh lewat, bola tidak. Ini membuat pertahanan Chelsea hanya tinggal menunggu di tempatnya. Tidak heran, dari 25 total tembakan City, hanya ada tiga yang dilepas dari depan gawang Petr Cech. City lebih sering melepas tembakan dari luar area 12 meter. Inilah template ketiga Mou.
Tiga template itulah yang hampir mirip digunakan Mou bersama Inter untuk menaklukkan Barca. Andai perang taktik Mou dan Pellegrini ini juga disertai penampilan Aguero dan Fernandinho. Sekali lagi bukan soal pengaruhnya pada penampilan City, tapi pasti tontonan akan lebih lengkap. Bukankah itu esensi sebuah big match? Image may be NSFW.
Clik here to view.